KASUS
“Isu Kenaikan Harga BBM”
Saat ini, banyak sekali
kegiatan manusia di muka bumi ini yang menggunakan energi dari Bahan Bakar
Minyak (BBM). Bahkan hampir di setiap lini ada saja energi dari minyak yang
digunakan. Sebut saja memasak, menggerakan mobil/motor, menggerakan mesin-mesin
pabrik, menghidupkan listrik, mejalankan kapal, menerbangkan pesawat dan lain
sebagainya.
Fakta Masalah
Sudah bisa dipastikan, kenaikan BBM akan merugikan
masyarakat. Pengguna BBM seperti pengendara motor dan mobil akan langsung merasakannya.
Transportasi umum juga sudah pasti akan menaikkan ongkos jasanya, sehingga
pengguna transportasi umum juga akan segera merasakan dampaknya. Lalu, para
pengguna transportasi umum kemungkinan akan beralih ke sepeda motor untuk
berhemat, sehingga kenaikan harga BBM pun akan membunuh transportasi umum.
Semuanya akan kejepit. Tapi tidak hanya sektor transportasi yang akan terkena
dampaknya. Dalam Peraturan Presiden No. 15 Tahun 2012 Tentang Harga Jual Eceran
dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Tertentu, disebutkan beberapa kategori
pengguna BBM bersubsidi selain transportasi. Mereka adalah usaha perikanan yang
terdiri dari nelayan dan pembudi daya ikan skala kecil; usaha pertanian kecil
dengan luas maksimal 2 hektar; usaha mikro; dan pelayanan umum seperti
krematorium. Semua pengguna ini akan terkena dampak kenaikan harga BBM.
Kita ambil contoh
petani kecil tanaman pangan. Harga tanaman pangan para petani ini akan naik,
karena ongkos produksi untuk memproduksi tanaman pangannya akan naik akibat
kenaikan harga BBM. Artinya, para pembeli tanaman pangan para petani ini akan
terkena dampaknya. Lalu, dengan lumayan banyaknya tanaman pangan impor, ada
kemungkinan para pembeli tanaman pangan si petani akan beralih ke tanaman
pangan impor. Akibatnya, kenaikan harga BBM pun akan membunuh usaha pertanian
si petani kecil. Kenaikan BBM memang cenderung akan menaikkan harga
barang-barang lain atau inflasi. Banyak yang menyarankan bahwa tahun 2011
pemerintah seharusnya sudah menaikkan harga BBM, khususnya premium secara
bertahap agar dampaknya tidak memberatkan. Namun, pemerintah tidak mendengarkan
aspirasi tersebut. Sekarang pemerintah mencoba membatasi BBM mulai April 2012
dan menutup kenaikan harga BBM. Upaya sudah dilakukan, tetapi belum siap dan
bahkan keteteran persiapannya, baik dari sisi infrastruktur maupun
sosial-ekonomi. Dengan tekanan harga minyak dunia, kini pemerintah mulai
berpikir realistis untuk menaikkan harga BBM. Sayang, pemerintah tidak bisa
bertindak cepat karena tidak memiliki landasan hukum akibat lalai dalam UU APBN
2012 Pasal 7 Ayat 4 dan Ayat 6. Kejadian 2005 dan 2008 terulang kembali,
kenaikan harga BBM tidak bisa ditawar lagi. Dengan subsidi akan mencapai Rp 200
triliun jika harga BBM tidak dinaikkan, pemerintah bermaksud menurunkan harga
pada tingkat yang wajar. Caranya seperti yang diwacanakan di media. Pertama,
melalui penetapan subsidi per liter sepanjang tahun atau kedua, penetapan
(kenaikan) harga per liter satu kali dengan besaran tertentu. Alternatif
pertama berarti harga premium akan berubah sesuai dengan harga keekonomiannya
(atau harga pasar). Kebijakan ini sangat membantu APBN memberikan kepastian
anggaran subsidi dan akan diadministrasikan oleh Pertamina, seperti Pertamax.
Bedanya untuk Premium masih akan diberlakukan sistem subsidi harga. Kebijakan
ini ada kemungkinan bertentangan dengan UU Migas karena Mahkamah Konstitusi
telah menghapus pasal yang menyebutkan pola penetapan harga BBM berdasarkan
harga pasar. Alternatif ini jika lolos dari sisi hukum akan memberikan
kepastian dari sisi APBN. Risikonya adalah apabila harga minyak dunia turun,
pendapatan minyak turun, sementara subsidi BBM tetap alhasil (Anggaran
Perencanaan Belanja Negara) APBN bisa tekor. Alternatif kedua adalah kenaikan
harga BBM. Sangat sederhana dan mudah, tetapi besarannya sulit ditentukan
karena ketidakpastian harga minyak dunia. Belum lagi apabila dilakukan secara
agresif, dampak sosial-ekonominya akan terasa berat.
(Copy & D. By Asep_Purkon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar